BIMA, SentralNtb. Id -- Dalam kehidupan sehari-hari, kita harus dihadapkan dengan tantangan hidup yang datang dari diri kita sendiri atau kadang juga dari orang lain. Bahkan dari orang-orang terdekat kita, seperti, keluarga, teman sebaya, bahkan sahabat sekalipun. Disinilah dibutuhkan akhlakul karimah (akhlak mulia), sebagai modal seseorang untuk menjadi pribadi yang baik. Karena baik dan buruknya seseorang dapat dilihat dari baik dan buruknya akhlak yang dimiliki.
Definisi akhlak menurut Imam Al-Ghazali adalah ungkapan tentang sikap jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan mudah dan tidak memerlukan pertimbangan atau pikiran terlebih dahulu. Jadi kita bisa menyimpulkan definisi dari Imam Al-Ghazali, bahwasanya akhlak itu spontan keluar dari pribadi seseorang, baik itu perbuatan yang karimah (baik) ataupun perbuatan yang mazmumah (buruk) secara langsung dengan sendirinya, tanpa harus berpikir panjang untuk melakukannya terlebih dahulu.
Dalam kehidupan sehari-hari, bahkan dalam lingkungan masyarakat kita, akhlak kini sudah tidak lagi menjadi perhatian setiap orang. Mirisnya, perbuatan-perbuatan seperti korupsi, asusila, narkoba, pembunuhan, perzinahan, seolah-olah menjadi hal biasa dalam masyarakat kita. Kenapa bisa terjadi? Iya, jawabannya tentu karena lemahnya iman dan kurangnya edukasi tentang akhlak.
Terutama zaman sekarang, mulai dari era 1990-an ke atas yang kerap kali diidentikkan dengan sebutan “Kids Zaman Now”, yang trennya sudah mengikuti budaya Barat, bisa dikatakan jauh dari ajaran syariat Islam. Sudah jarang adanya penghormatan kepada orang tua, anak-anak suka berkata kasar kepada orang tua, bahkan ada yang membunuh orang tuanya hanya karena apa yang dia inginkan tidak diwujudkan.
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk memperbaiki akhlak”. Misi utama Rasulullah SAW bukan untuk mengislamkan penduduk bumi, akan tetapi untuk memperbaiki akhlak manusia. Karena pada saat itu umat manusia berada dalam kehancuran, sehingga pantaslah disebut dengan Zaman Jahiliah (Zaman Kebodohan). Maksudnya, bukan bodoh dalam hal intelektual, akan tetapi bodoh dalam perkara akhlak.
Habib Umar bin Hafidz pernah berkata, “Orang yang tinggi akhlaknya meskipun rendah ilmunya, maka lebih mulia daripada orang yang tinggi ilmunya tetapi kurang akhlaknya”. Islam tidak melarang umatnya untuk berprofesi, jika akhlak itu mewadahi semua bidang. Maksudnya mewadahi, yaitu, kita boleh berprofesi sebagai guru, tetapi guru yang berakhlak, menjadi dokter yang berakhlak, pemimpin yang berakhlak dan sebagainya.
Kita lihat lingkungan masyarakat sekitar kita begitu banyak anak-anak yang membutuhkan pendalaman edukasi tentang akhlak, sehingga tidak akan ada lagi penyimpangan-penyimpangan yang akan terjadi untuk kedepannya. Karena dari pengalaman kita, baik yang kita rasakan, perhatikan dan alami, kemerosotan akhlak dan moral yang baik kini sudah mendarah daging menjadikan karakter anak bangsa.
Maka dari itu, kita butuh sosialisasi tentang pembentukan akhlak dan karakter yang baik di setiap lingkungan masyarakat. Jika tidak bisa melakukan sosialisasi, setidaknya kita bisa memulai dari hal terkecil dengan memberikan contoh yang baik. Karena untuk memperbaiki akhlak masyarakat, kita bisa mulai dari diri kita dan orang terdekat kita (keluarga), untuk menjaga dan menstabilkan akhlak masyarakat, termasuk peradaban dunia ke depannya.,(00"Red).,
Bima 8 Juni 2021.
COMMENTS